Pages

Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?


Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.

Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas (Serambi, 08/11/2010)

Dari fakta ini, maka patut dipertanyakan apakah pemimpin Aceh saat ini memiliki ide untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada dalam mengentaskan kemiskinan? Untuk mengelola kekayaan alam dan dana yang tergolong besar itu, pemerintah Aceh yang mengayomi 23 kabupaten/kota ini, dituntut untuk selalu proaktif dan kreatif, serta memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang jelas sehingga visi pembangunan dan pengentasan kemiskinan tidak terhenti di tengah jalan.

Sejalan dengan keadaan diatas, Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah, Raja Masbar, telah menyampaikan pemikirannya bahwa arah kebijakan ekonomi Aceh harus difokuskan pada penciptaan lapangan pekerjaan bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki keahlian (skill) dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Arah kebijakan bisnis harus difokuskan pada dua prioritas utama yaitu (a) pembangunan industri pengolahan pertanian dan (b) pemberdayaan jaringan pemasaran (marketing network).

Untuk menjawab sekelumit permasalahan ini, Aceh membutuhkan berbagai cara yang efektif yang senantiasa berorientasi pada pemanfataan sumber daya alam (SDA) dan manusia (SDM) serta kearifan lokal yang telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan yang menjadi solusi bagi masyarakat Aceh juga harus ditetapkan oleh masyarakat lokalnya. Agar tercipta kemapanan dalam masyarakat Aceh, tentunya diharapkan adanya jalinan kerjasama antara setiap komponen masyarakat lokal, termasuk pemerintah daerah, kaum intelektual, pelaku bisnis dan masyarakat itu sendiri. Kerjasama ini diharapkan untuk mewujudkan tujuan bersama sesuai kondisi dan sumberdaya lokal yang dimiliki.

Dalam hal ini, kita perlu belajar pada Muhammad Yunus, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong di Bangladesh yang juga sekaligus praktisi ekonomi. Dengan usaha dan keyakinan yang dimiliki, dia juga telah nobel perdamaian pada tahun 2006. Penghargaan itu diberikan karena ia berhasil mengangkat derajat masyarakat Bangladesh dari kemiskinan melalui Grameen Bank (Bank Pedesaan) yang ia dirikan. Dengan usahanya Muhammad Yunus berhasil mengangkat 58 persen dari 7 juta orang peminjam bank tersebut dari kemiskinan. Kesederhanaan yang disertai dengan suatu tujuan yang jelas telah beliau tunjukkan. Hal itu terlihat ketika ia disuguhi sebuah pertanyaan tentang impiannya (vision) sehingga dia mau melakukan upaya pemberdayaan ini. Yunus menjawab bahwa dia ingin suatu hari anak cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan.

Sebuah pelajaran besar yang diberikan oleh Yunus bagi akademisi dan praktisi ekonomi, bahwa untuk menciptakan sebuah perubahan fundamental kita harus langsung terlibat di inti persoalan agar mendapatkan hasil yang signifikan.

Disinilah letak kewajiban setiap civitas akademika Fakultas Ekonomi di berbagai universitas di Aceh. Mereka adalah akademisi yang menyandang predikat sebagai ilmuwan –yang juga menyiratkan kepakaran-- dalam bidang pengembangan perekenomian. Tentunya setiap kita memiliki peran penting dalam upaya menurunkan jumlah kemiskinan yang kini masih menggelayuti Aceh. Secara tidak langsung setiap akademisi dituntut untuk mengabdikan keilmuan yang dimiliki dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di Aceh.

Seruan untuk mengabdikan diri sesuai dengan jenis keilmuan yang dimiliki bukan hal baru. Hal ini telah termaktub dalam Tri-Dharma Perguruan Tinggi di berbagai universitas. Sebagai kaum intelektual, peran yang harus kita mainkan adalah memberikan solusi kongkrit berupa gagasan, konsep serta tindakan nyata (real action) yang dapat memajukan perekonomian sebagai upaya pengentasan kemiskinan di Aceh. Akan terasa tiada manfaatnya semua bahan kuliah (text book) yang setiap hari di mamah-biak di ruang kelas, tanpa dibarengi dengan suatu tindakan nyata yang dapat memberikan perubahan positif secara kangsung dan signifikan.

Jika kesadaran akan peranan ini tercipta, serta kerjasama dapat terbangun antara pemerintah, kaum intelektual dan masyarakat Aceh dalam satu tujuan yang sama, maka harapan untuk memajukan dan mengentaskan kemiskinan di Aceh akan dapat terealisasi secara komprehensif.



Sumber : http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=369:kemiskinan-aceh-dimana-para-ekonom-kita&catid=72:ekonomi-a-pembangunan&Itemid=125

0 komentar:

Posting Komentar